Permasalahan Pendidikan Matematika di Sekolah Dasar - Kalau kita boleh jujur, usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika akan terus ada. Banyak penelitian dan praktik-praktik baik matematika secara masif diperkenalkan, namun apakah dapat merubah kualitas pembelajaran matematika secara umum ? Betul bahwa ada perubahan, mungkin saja perubahan pada subyek penelitian hasil ekperimen sebuah pembelajaran. Ada benarnya atau Ini hanya dugaan. Ya saya hanya punya pretensi untuk berasumsi. Kalau memang hanya dugaan, mengapa semua penelitian terus menerus melaporkan keprihatinan akan pembelajaran matematika ? Sulit membantah memang, dalam berbagai latar belakang proyek penelitian alasan-alasan pemilihan judul penelitian memaparkan fakta yang terus saja sama.
Akhirnya, saya hanya punya suatu kesimpulan bahwa : ada benarnya para ahli mengatakan bahwa setiap subyek pembelajaran (peserta didik; yang dulu diperlakukan sebagai obyek pembelajaran) adalah pribadi-pribadi sehingga perlu penanganan secara personal. Praktik-praktik baik pembelajaran pada orang lain tidaklah otomatis memberikan pengaruh yang agak baik pada subyek-subyek pembelajaran yang lain.
Mengapa hal ini terus terjadi ? lagi-lagi banyak penelitian memaparkan fakta yang benar...Pembelajaran matematika sekolah tidak berhasil membuat anak suka matematika. Anak-anak selalu saja cemas jika, begitu kata hasil penelitian yang berselewiran di internet. Anak-anak Sekolah dasar suka bermain. Tidak bisakah guru mengajak siswa bermain di kelas dan membuat siswa belajar matematika tanpa mereka tau bahwa mereka sedang belajar konsep tertentu ? Ini akan melibatkan proses pemodelan yang rumit, terjadi dalam kognisi siswa, diawali dengan skema yang sudah berakar pada anak didik. Untuk memulai proses ini, tentu saja pendidik mempunyai beragam konteks untuk pembelajaran matematika. Ya..Tugas guru hanyalah menyediakan masalah-masalah kontekstual yang relevan dengan konsep tertentu.
Masalahnya adalah apakah guru memiliki koleksi permasalahan kontekstual yang kaya sehingga siswa bisa mendapatkan kekayaan konsep matematika dari satu saja permasalahan kontekstual yang diberikan ? Kata Bapak Sutarto Hadi seorang penggiat dan Peneliti Matematika Realistik, matematika harus diajarkan secara kontekstual sehingga tugas guru adalah menyediakan konteks-konteks.
Untuk menyediakan konteks-konteks yang relevan, guru matematika harus banyak merenung dan mendapatkan inspirasi fenomena matematis dari masalah, praktik praktik budaya yang dekat dengan anak. Senang rasanya jika siswa sekolah dasar bermain di kelas tanpa sadar bahwa mereka baru saja belajar matematika. Tentu saja ini hanya proses awal untuk membuat mereka senang sambil belajar matematika dalam bentuk paling sederhana yang mereka kenal.
Penyajian-penyajian pembelajaran matematika dengan membiasakan siswa menyelesaikan masalah akan membuat siswa terbiasa untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan hidup yang akan terus mereka temukan dalam keseharian mereka. Tentu saja masalah yang mereka hadapi akan dalam bentuk yang paling sederhana dan yang paling kompleks. Penyelesaian permasalahan kehidupan mereka tentu saja tidak akan jauh-jauh dari matematika. Pembiasaan ini akan menciptakan invertor invertor matematika di masa depan.
Menemukan cara paling baik untuk menyelesaikan masalah secara tidak langsung akan membuat mereka melewati proses yang sama ketika pada waktu lampau menemukan penyelesaian dalam bentuk model matematika formal, sebuah bentuk yang akan mereka pelajari tetapi sudah mereka temukan sendiri. Dengan cara seperti ini pembelajaran matematika akan bermakna bagi anak-anak yang belajar matematika.
Jika, model pembelajaran mekanistik terus diterapkan pada kelas-kelas pembelajaran matematika (lagi-lagi praktik yang selalu menjadi alasan diterapkannya model atau pendekatan baru dalam berbagai penelitian eksperiman) maka sebetulnya guru lalai menekankan proses pemerolehan konsep matematika.
Penyajian-penyajian pembelajaran matematika dengan membiasakan siswa menyelesaikan masalah akan membuat siswa terbiasa untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan hidup yang akan terus mereka temukan dalam keseharian mereka. Tentu saja masalah yang mereka hadapi akan dalam bentuk yang paling sederhana dan yang paling kompleks. Penyelesaian permasalahan kehidupan mereka tentu saja tidak akan jauh-jauh dari matematika. Pembiasaan ini akan menciptakan invertor invertor matematika di masa depan.
Menemukan cara paling baik untuk menyelesaikan masalah secara tidak langsung akan membuat mereka melewati proses yang sama ketika pada waktu lampau menemukan penyelesaian dalam bentuk model matematika formal, sebuah bentuk yang akan mereka pelajari tetapi sudah mereka temukan sendiri. Dengan cara seperti ini pembelajaran matematika akan bermakna bagi anak-anak yang belajar matematika.
Jika, model pembelajaran mekanistik terus diterapkan pada kelas-kelas pembelajaran matematika (lagi-lagi praktik yang selalu menjadi alasan diterapkannya model atau pendekatan baru dalam berbagai penelitian eksperiman) maka sebetulnya guru lalai menekankan proses pemerolehan konsep matematika.
Disadari atau tidak praktik baik seperti yang saya sebutkan di atas terutama pendekatan matematika realistik sedikit demi sedikit telah diimplementasikan. Pendekatan ini belum semuanya dipraktikan. Perubahan besar dalam pembelajaran matematika akan terjadi jikalau semua sekolah tanpa kecuali menerapkannya dalam pembelajaran matematika. Semoga tujuan mulia pembelajaran matematika di SD yang sangat ideal dan memang itu seharusnya, tidak seperti "jauh panggang dari api".