Kesalahan Implementasi Konstruktivisme di Kelas-Kelas Matematika - Munculnya Kurikulum 2013 setidaknya menimbulkan ekspektasi beragam dari banyak kalangan. Kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi ini dianggap merupakan produk perbaikan dari kurikulum 2006 yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum 2013 (K-13) sendiri sudah direvisi (terakhir revisi Tahun 2017). Sebetulnya inti dari Kurikulum 2013 adalah harapan bahwa proses pendidikan harus menyentuh tiga dimensi kehidupan manusia yaitu dimensi pengetahuan, sikap dan keterampilan. Jika kita bedah K-13 dengan seksama, pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran berbasis kurikulum ini adalah penekanan untuk menghilangkan apa yang dinamakan learning by telling. Peserta didik dilatih untuk membentuk pengetahuan sendiri.
Dalam konteks pembelajaran matematika, guru menekankan siswa untuk menemukan konsep atau pengetahuan matematika sendiri. Ini tujuan mulia kurikulum 2013, tetapi bagaimana implementasinya ? Saya cukup terkejut ketika guru pada salah satu SD di Ende selalu sering menugaskan peserta didik untuk mencari segala sesuatu berkaitan dengan matematika di Internet.
Guru menganggap bahwa K-13 menerapkan konstruktivisme secara "liar". Mengapa saya bilang "liar" ? Karena pemahaman guru tentang konstruktivisme sangat sempit, membiarkan apapun dicari sendiri oleh siswa. Padahal inti dari konstruktivisme adalah siswa membentuk sendiri pengetahuan namun tetap didampingi oleh para guru. Bolehlah siswa tidak didampingi secara nyata, namun perlu pendampingan dalam hal menyiapkan LKS, menyiapkan permasalahan matematika bermakna yang tidak jauh dari keseharian siswa dan lain-lain.
Saya tidak mau membayangkan, siswa menyuruh siswa menemukan rumus keliling dan luas bangun datar di internet. Hasilnya adalah bahwa siswa menemukan rumus yang sudah jadi seperti yang sering ditulis guru dengan pembelajaran berpola mekanistik. Ini semacam ada pengabaian proses dalam pembentukan pengetahuan matematika. Proses pembentukan pengetahuan matematika yang baik tidak berlangsung secara mekanistik tetapi realistik.
Guru menganggap bahwa K-13 menerapkan konstruktivisme secara "liar". Mengapa saya bilang "liar" ? Karena pemahaman guru tentang konstruktivisme sangat sempit, membiarkan apapun dicari sendiri oleh siswa. Padahal inti dari konstruktivisme adalah siswa membentuk sendiri pengetahuan namun tetap didampingi oleh para guru. Bolehlah siswa tidak didampingi secara nyata, namun perlu pendampingan dalam hal menyiapkan LKS, menyiapkan permasalahan matematika bermakna yang tidak jauh dari keseharian siswa dan lain-lain.
Saya tidak mau membayangkan, siswa menyuruh siswa menemukan rumus keliling dan luas bangun datar di internet. Hasilnya adalah bahwa siswa menemukan rumus yang sudah jadi seperti yang sering ditulis guru dengan pembelajaran berpola mekanistik. Ini semacam ada pengabaian proses dalam pembentukan pengetahuan matematika. Proses pembentukan pengetahuan matematika yang baik tidak berlangsung secara mekanistik tetapi realistik.
Seharusnya siswa memberikan tugas-tugas dengan LKS yang terencana dengan benar. SIswa mengerjakan tugas yang diberikan guru dalam bentuk aktivitas-aktivitas bermakna. Siswa bisa disuruh menemukan panjang tali maksimal yang dapat digunakan untuk menghias keliling kamarnya...Atau siswa disuruh menentukan panjang tali total yang digunakan untuk memagari taman di depan tumahnya atau apalah...Tentu saja suruhan tersebut ada dalam LKS. Saya pernah mendengar pernyataan geli dari seorang guru. Adanya K-13 membuat guru semakin santai, siswa sendiri yang bekerja. Padahal, tugas guru dengan K-13 semakin berat.
Tantangan semakin berat. Guru harus punya pemahaman relasional yang memadai untuk dapat merancang pembelajaran berbasis K-13. Kalau guru sendiri hanya memiliki pemahaman instrumental terkait pengetahuan matematika, maka tugas yang diberikan kepada siswa pun cenderung akan seperti yang saya sebutkan di atas. Hati-hati ! Pemahaman yang salah dan Implementasi Konstruktivisme yang "liar" tengah terjadi pada kelas-kelas pembelajaran matematika saat ini.